Posted by: biru langit | 10/12/2009

Bagaimana Mengkritik Sebuah Karya Novel? Part I

Oleh : Miftahur Rahman el-Banjary

(Cerpenis, Kandidat Master Univ. Dual Arabiyyah)

Sasaran: Krtikus Sastra & Pencinta Sastra

kritik

Banyak orang lebih tertarik menjadi penikmat sastra, daripada menjadi kritikus sastra, sebagaimana banyaknya orang yang menyukai novel, ketimbang menjadi kritikus novel itu sendiri. Memang, menjadi seorang penulis novel dan sekaligus menjadi kritikusnya bukanlah hal yang mudah. Keduanya diperlukan pengalaman, sekaligus pengetahuan teoritis yang mendalam, khususnya di bidang dunia sastra. Dan jika saat ini Anda hanya sebagai penikmat sastra, maka tidak ada salahnya sekarang Anda beranjak menjadi seorang kritikus sastra.

Di sini penulis ingin berbagi pengetahuan kepada rekan-rekan pecinta sastra tentang bagaimana menilai sebuah karya novel yang berkualitas, sekedar pengetahuan yang penulis dapatkan dari mata kuliah Prof. Dr. Nabilah Ibrahim, seorang dosen pakar “Adab Rawai” (Sastra Novel) di Prog. S.2 Fak. Sastra di Universitas Dual Arabiyyah, Cairo-Egypt.

Perlu dipahami bahwa kritikus sastra bukanlah orang yang mencari-mencari kekurangan dalam karya orang lain. Itu pemahaman yang keliru! Kritik bertujuan untuk mempelajari kelebihan sebuah karya sastra untuk dipertahankan kelebihannya, dan mempelajari kekurangan-kekurang anya untuk selanjutnya diperbaiki dan dikoreksi agar kesalahan tersebut tidak terulang lagi.

Menulis novel atau cerita tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ada banyak waktu, stamina, pengalaman, dan imajinasi ‘liar’ yang diperlukan. Sebuah novel mencakup dimensi sosial, psikoligi, antropologi, dan demensi-demensi lainnya dalam kehidupan manusia. Seorang penulis novel dituntut mampu menggerakkan alam sekitarnya, memerankan penokohan sesuai dengan karakternya, memasukkan intrik-intrik pertikaian yang rumit, menempatkan klimaks yang tepat, dan memberikan solving problem terhadap permasalahan di dalamnya. Jadi, novel layaknya memutar kembali sebuah perjalanan hidup manusia dengan kekuatan kata-kata. Inilah yang kemudian membedakan antara novel dengan puisi, atau antara seorang novelis dengan pujangga. Puisi hanya menjelmakan alam sekitar dan kehidupan manusia dengan rangkaian kata-kata yang diperindah, sehingga jelaslah bahwa mengkritik sebuah puisi jauh lebih mudah dibandingkan dengan sebuah novel.

Untuk mengkritik sebuah novel, apakah berkualitas atau tidak, tidak cukup diserahkan sepenuhnya kepada para pembaca dan penikmat sastra. Para kritikus sastra mempunyai kode etik standar untuk menilai sebuah kualitas sebuah karya sastra. Paling tidak disini penulis sebutkan ada lima kriteria dasar yang menempatkan karya novel layak dikatakan berkualitas. Kriteria tersebut dikemas dalam bentuk pertanyaan-pertanya an yang harus dijawab sendiri oleh analisis para kritikus tersebut.

Pertama: Apa motivasi novelis dalam menuliskan karyanya?

Motivasi tersebut terkadang dituliskan oleh novelis secara eksplisit, terkadang juga secara implisit dalam ceritanya. Motivasi inilah yang kelak menjadi pesan utama yang ingin ditranformasikan si novelis kepada para pembacanya. Pertanyaan ini setidaknya memberikan gambaran yang jelas kepada para pembaca tentang apa tujuan dan maksud yang diinginkan oleh novelis di dalam novelnya. Apakah tujuan novel itu sebagai kritik sosial, pembangkit motivasi, mengajak berpetualang, menggali sejarah, melibatkan pembaca dalam intrik-intrik dan tragedi percintaan? Dan pertanyaan-pertanya an lain semisalnya.

Selanjutnya pertanyaan yang tak kalah pentingnya adalah, apakah novelis tersebut mempunyai hubungan pengalaman langsung dengan dunia yang berkenaan dengan novel yang ditulisnya? Sebagai contoh, novel Arab karya Abdurrahman as-Syarqawi yang berjudul al-Ardh (Bumi); kisah yang bercerita tentang kehidupan komunitas para petani desa di Mesir yang bertikai dengan pemerintah kota dan kalangan borjouis di desa itu, dianggap telah berhasil menggambarkan seluk-beluk kehidupan yang sesungguhnya secara detail, karena penulisnya memang benar-benar pernah hidup dilingkungan tersebut dan bergaul langsung dengan komunitasnya, sehingga permasalahan yang diangkat pun mengena dan ceritanya benar-benar hidup.

Sangat berbeda dengan karya novel yang ditulis oleh Najeeb Kailany yang menulis novel “Gadis Jakarta”. Karyanya dianggap belum memenuhi kriteria standar sebuah karya yang berkuliatas, disebabkan penulisnya sendiri belum pernah observasi ke tempat yang ia tulis di novelnya. Dengan demikian, para krtikus sasta menolak keberhasilan dalam karyanya tersebut.

Kedua : Apakah novelis itu berhasil membangun karakter penokohan?

Sebagaimana yang saya kemukan diatas, bahwa ada perbedaan mendasar antara novelis dan pujangga, kendatipun keduanya adalah pekerja dalam dunia sastra. Menulis novel juga tidak bisa disamakan dengan menulis puisi, artikel, essay, kolom, opini, khutbah, dan sejenisnya.

Di dalam sebuah novel jelas harus ada penokohan yang harus dimainkan oleh penulisnya. Sebuah novel dapat dianalogikan sebuah pertunjukan wayang kulit. Novelis sebagai dalangnya alias sutradanya, sekaligus berperan dalam banyak pemeran penokohan. Dengan demikian, seorang novelis benar-benar dituntut mampu memerankan tokoh-tokoh yang dimainkannya sesuai dengan karakternya masing-masing. Sebagai contoh, tokoh yang protagonis, tentunya tidak akan mungkin tertukar dengan karakter antagonis, dan begitupula sebaliknya. Jika penulis mampu memainkan penokohan secara tepat, maka penulis tersebut, dianggap telah berhasil membangun karakter penokohan dalam sebuah karyanya.

Ketiga: Apakah sebuah novel itu memenuhi demensi estetika?

Perlu diingat bahwa sebuah karya sastra, khsusunya novel adalah karya transparan. Dalam pengertian sederhana, sebuah karya novel harus benar-benar dapat dipahami secara jelas oleh para pembaca, baik itu alur ceritanya, pesan yang ingin disampaikan, maupun istilah dan kata-kata yang digunakan. Namun, bukan berarti karya novel meninggalkan demensi-demensi keindahan gaya bahasanya.

Ada banyak fonemena dimana para novelis terjebak kepada tuntutan sebuah estetika, sehinga terkesan memaksakan penggunaan diksi kata dan metaphora, dan asyik dengan bermain-main dengan kata-kata yang mendayu-dayu. Konsekuensi logisnya adalah tidak jelas arah ceritanya, pesan utamanya menjadi kabur, dan pembacanya pun dibuat kebingungan. Dan tentunya fonemena semacam inilah yang kemudian menghambat perkembangan sastra untuk lebih maju dan memasyarakat.

Berkenaan dengan gaya bahasa dalam sebuah novel, penulis berpendapt bahwa seorang novelis tidaklah selamanya dituntut mampu merangkai kata-kata nan puitis demi memenuhi tuntutan estetika tersebut. Bahasa sastra tidak harus merangkai lilitan-lilitan kata-kata yang indah, namun memusingkan kepala untuk memahaminya dan hampa dari esensi filosofi. Namun, sastra adalah bahasa yang indah dan mudah dipahami.. Dan sekali lagi, novel bukanlah karya puisi.

Dan dalam satu kesempatan acara “Menulis bersama Habiburrahman el-Shirazi” di Cairo, pada tahun 2008 yang lalu. Penulis sempat menanyakan kepada Kang Abik tentang gaya bahasa yang digunakan dalam karya-karyanya yang terkesan sangat sederhana, sehingga tidak tampak nilai-nilai estetikanya. Tentunya sangat jauh berbeda sekali lagi dengan karya-karya Nuruddin al-Jamie dalam roman “Yusuf dan Zulaikha, atau sekelas karya Nizami dengan Laila Majnun yang sangat sarat sekali dengan gaya bahasa alegoris nan indah dan mendayu-dayu. Dan beliau menjawab: “Di dalam kata-kata sederahana itulah letak karya sastra sesungguhnya. ” Dan beliau tambahkan bahwa kebutuhan zaman sudah berubah. Saat ini orang lebih cenderung menyukai karya novel yang sarat dengan pesan-pesan normatis, ketimbang menikmati gaya bahasanya yang meliuk-meliuk, namun kehilangan roh religiusnya.

Tampaknya “mazhab Kang Abik” inilah yang kemudian mendobrak kebangkitan karya sastra di Tanah air yang selama ini terkesan didominasi oleh komunitas ‘sastawan elit’, dan kemudian menjalar ke lapisan masyarakat umum. Pergeseran ini dapat dilihat dari antusias masyarakat awam yang mulai menyukai novel-novel sejenis Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, atau Laskar Pelangi dan sejenisnya. Dengan demikian, demensi yang harus diperhatikan oleh seorang kritikus novel adalah lebih menganalisis kepada kandungan essensinya, daripada kepada gaya diksinya.

copy from milist wordsmart center

Bersambung…


Responses

  1. Terima kasih atas informasi menarik

  2. Ini khan tulisan saya, kok minta izin dulu copaz???!!!

  3. Wadooo tulisan saya dicopaz tanpa izin!!!


Leave a comment

Categories